Materi PPKN Kelas X Kurikulum Merdeka Bagian 3 Bhinneka Tunggal Ika : Unit 3 Kolaborasi Antarbudaya di Indonesia

 




Pertanyaan kunci yang akan dikaji pada Unit 3 ini adalah:
1. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 1945, bagaimana eksistensi kebudayaan-kebudayaan yang sudah ada sebelumnya?
2. Apa yang dilakukan terhadap kekayaan budaya bangsa Indonesia setelah kita menghargainya?
3. Bagaimana memaknai keragaman budaya yang ada di Indonesia? Kekuatan atau tantangan?


1. Tujuan Pembelajaran
Peserta didik mampu menjelaskan Indonesia sebagai sebuah negara yang terbentuk dari keragaman budaya. Melalui pembelajaran di Unit 3, peserta didik juga diharapkan mampu mengidentifikasi pentingnya melakukan kolaborasi budaya yang ada di Indonesia.

2. Aktivitas Belajar 1

a. Bacalah artikel di bawah ini, kemudian kalian akan diskusi yang dibuka dengan pertanyaan “Bagaimana hubungan antara keragaman suku dan agama anggota BPUPK terhadap pembentukan Dasar Negara Indonesia?"

b. Diskusi dilaksanakan di kelompok kecil dengan memberikan penekanan pada aspek demografi (suku dan agama) dari anggota BPUPK kepada peserta didik.
Peserta didik berdiskusi tentang hubungan antara keragaman suku dan agama serta pembentukan negara Indonesia.

Indonesia adalah negara yang memayungi berbagai kebudayaan di dalamnya. Kebinekaan budaya difasilitasi dan dimajukan. Tak hanya itu, Indonesia memfasilitasi segala macam ragam kebudayaan yang berkolaborasi dari Sabang sampai Merauke.
Kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan dari Aceh hingga Papua.

Mari kita cermati komposisi para peserta Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Di dalamnya, ada 70 anggota yang berlatarbelakang suku dan agama yang tidak sama.

Tak hanya menghormati, kebudayaan-kebudayaan yang ada, baik dalam sebuah negara atau kebudayaan antarnegara, sebaiknya membangun sebuah kerja nyata yang menunjukkan bagaimana perbedaan itu bisa mendorong harmonisasi. Kolaborasi antarbudaya bisa menjadi agenda berikutnya.

Kolaborasi merupakan sebuah kerja sama yang dilakukan, baik individu maupun kelompok. Mereka yang terlibat dalam kerja sama itu mendasarkan dirinya pada nilai yang disepakati, komitmen yang dijaga serta keinginan untuk menunjukkan kepada khalayak bahwa perbedaan latar belakang budaya, tidak menghalangi siapapun untuk bisa bekerja bersama-sama.

Dengan semangat kolaboratif, jati diri yang berbeda itu bisa bergandengan tangan menciptakan prakarya kebudayaan. Karena bersifat kolaborasi, maka identitas-identitas yang turut di dalamnya tidak kehilangan jati dirinya. Persis seperti gambaran tentang jati diri bangsa Indonesia yang berasal dari keragaman identitas yang masih sangat terjaga, meski dalam satu waktu, ada identitas yang secara bersama-sama disepakati sebagai identitas nasional.

3. Aktivitas Belajar 2

a. Lakukan diskusi dengan pertanyaan pemantik “Kapan keragaman itu menjadi kekuatan dan kelemahan?”

b. Sebagai bahan bacaan, kalian bisa menelaah tulisan di bawah ini yang berjudul
1) “Kasus Kekerasan yang Dipicu Masalah Keberagaman di Indonesia” https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/06/190000569/kasus-kekerasanyang-dipicu-masalah-keberagaman-di-indonesia?page=all
2) "Menilik Situasi Kasus Diskriminasi Terhadap Kelompok Minoritas di
Indonesia", https://tirto.id/menilik-situasi-kasus-diskriminasi-terhadapminoritas-di-indonesia-fXpD

c. Kalian kemudian mendiskusikan bacaan tersebut lalu menganalisis keragaman dalam bentuk tabel. Bilamana keragaman menjadi kekuatan dan kelemahan.

d. Diskusikan juga beberapa pertanyaan berikut:
1) Bagaimana pendapatmu tentang banyaknya kasus kekerasan yang terjadi kepada kelompok minoritas?
2) Mengapa sampai terjadi banyak sekali kekerasan terhadap kelompok
minoritas?
3) Apakah kekerasan yang terjadi patut untuk dilakukan?
4) Bagaimana cara mengubah situasi dan kondisi tersebut menjadi lebih baik?


 “Kasus Kekerasan yang Dipicu Masalah Keberagaman di Indonesia"


 

KOMPAS.com - Indonesia merupakan negara yang beragama. Indonesia memiliki suku bangsa, adat istiadat, budaya dan ras yang berbeda-beda tersebar di wilayah Indonesia. Namun keberagaman tersebut terus dilakukan diuji dengan munculnya berbagai konflik yang terjadi diberbagai daerah. Konflik-konflik menimbulkankorban jiwa, luka-luka dan harus mengungsi.


Diberitakan Kompas.com (23/12/2012), Yayasan Denny JA mencatat selama 14 tahun setelah masa reformasi setidaknya ada 2.398 kasus kekerasan dan diskriminasi yang terjadi di Indonesia.

Dari jumlah kasus tersebut sebanyak 65 persen berlatar belakang agama. Sementara sisanya kekerasan etnik sekitar 20 persen, kekerasan gender sebanyak 15 persen, kekerasan seksual ada 5 persen.

Dari banyak kasus yang terjadi tercatat ada beberapa konflik besar yang
banyak memakan jatuh korban baik luka atau meninggal, luas konflik, dan kerugian material.


Berikut sejumlah beberapa konflik di Indonesia tersebut


 

 




 Menilik Situasi Kasus Diskriminasi Terhadap Minoritas di Indonesia
 

Kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas di Indonesia tidak juga kunjung berakhir. Tidak hanya terus berulang, kasus-kasus ini juga jarang terselesaikan dengan baik. 

Terakhir, kasus kekerasan ini terjadi di Solo, Jawa Tengah, Sabtu (8/8/2020). 

Tindak kekerasan dan penyerangan di Solo tersebut dilakukan oleh sekelompok orang pada upacara Midodareni yang diselenggarakan di kediaman almarhum Segaf Al-Jufri, Jl. Cempaka No. 81, Kp. Mertodranan, Pasar Kliwon,Kota Surakarta, pada Sabtu, (8/8/2020).
 

Sekelompok orang tersebut melakukan penyerangan, merusak sejumlah mobil dan memukul beberapa anggota keluarga yang melakukan upacara Midodareni, sembari meneriakan bahwa Syiah bukan Islam dan darahnya halal.
 

Sedikit catatan, Midodareni merupakan tradisi yang banyak dilakukan oleh masyarakat Jawa untuk mempersiapkan hari pernikahan.


Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian Alissa Wahid mengecam tindak kekerasan tersebut. Menurutnya, insiden tersebut menambah catatan buruk kasus intoleransi di Indonesia. Padahal, Presiden RI Joko Widodo pernah menyatakan bahwa tidak ada tempat bagi tindak intoleransi di Indonesia.


Kejadian tersebut memperpanjang daftar tindak diskriminasi dan intoleransi terhadap kelompok minoritas khususnya dalam kerukunan beragama.


Pada 2018 lalu, Komnas HAM bersama Litbang Kompas meluncurkan survei berjudul "Survei Penilaian Masyarakat terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis di 34 Provinsi".


Hasil survei tersebut memperlihatkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap isu diskriminasi ras dan etnis masih perlu ditingkatkan. Misalnya, sebanyak 81,9 persen responden mengatakan lebih nyaman hidup dalam keturunan keluarga yang sama.


Kemudian, sebanyak 82,7 persen responden mengatakan mereka lebih nyaman hidup dalam lingkungan ras yang sama. Sebanyak 83,1 persen responden juga mengatakan lebih nyaman hidup dengan kelompok etnis yang sama.


Komnas HAM mencatat 101 aduan terkait diskriminasi ras dan etnik sepanjang 2011-2018 dengan aduan tertinggi pada 2016. Jumlah pengaduan terbanyak berasal dari DKI Jakarta dengan 34 aduan.

Fluktuatif
Kementerian Agama setiap tahun merilis indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB). Dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, KUB merupakan keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.
 

Indeks tersebut digambarkan dengan angka 0-100. Komponen penilaian
yang disorot dalam penilaian ini yaitu kesetaraan, toleransi, dan kerja sama antarumat beragama. Skor indeks KUB nasional mengalami fluktuasi setiap tahunnya, mulai dari 75,35 pada 2015 hingga menjadi 73,83 pada 2019. 

Angka rerata nasional sempat turun pada 2017-2018 hingga menjadi 70,90 pada 2018.


Saat mengumumkan angka indeks KUB 2018, Kepala Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama Abdurrahman Mas’ud menyebut banyak peristiwa yang terjadi pada periode 2017-2018 yang menguji kerukunan berbangsa dan bernegara.


"Kental terasa di benak kita, isu-isu keagamaan bersinggungan dengan
isu-isu politik. Atau, ada juga yang menganggap bahwa ras dan agama telah dibawa menjadi isu politik atau politisasi agama menjelang perhelatan Pileg dan Pilpres serentak pada 17 April 2019” ujar Mas’ud, Senin (25/3/2019).
 

Mas’ud mencontohkan peristiwa keagamaan yang bersinggungan dengan
politik pada periode 2016-2017 yaitu kasus mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), situasi menjelang Pilkada DKI 2017, serta residu politik pada 2018-2019 menjelang Pemilu serentak.
 

Pada 2019, Kementerian Agama mencatat 18 provinsi mendapatkan skor
di bawah rerata nasional 73,83. Tiga provinsi dengan skor terendah yaitu: Jawa Barat 68,5; Sumatera Barat 64,4; dan Aceh 60,2.
 

Selain terhadap perbedaan agama, tingkat toleransi atau penerimaan terhadap isu lain dapat dilihat dari Social Progress Index yang dirilis oleh Social Progress Imperative. Indeks tersebut dirancang untuk melihat kualitas kemajuan sosial suatu negara melalui tiga variabel penilaian yaitu basic human needs, foundations of wellbeing, dan opportunity dengan skor 0-100.


Variabel opportunity dapat menjadi sorotan ketika melihat tingkat toleransi di Indonesia. Dalam variabel tersebut, terdapat komponen penilaian inclusiveness. Komponen inclusiveness merupakan penilaian tingkat penerimaan masyarakat terhadap seluruh golongan untuk dapat menjadi anggota masyarakat yang berkontribusi tanpa ada pengecualian.
 

Jika dirinci, komponen inclusiveness terdiri dari beberapa sub komponen
penilaian yaitu penerimaan terhadap gay dan lesbian, diskriminasi dan kekerasan terhadap minoritas, kesetaraan kekuatan politik berdasarkan gender, kesetaraan kekuatan politik berdasarkan posisi sosial ekonomi, dan kesetaraan kekuatan politik berdasarkan kelompok sosial.


Pada periode 2015-2019, skor inclusiveness Indonesia pada awalnya menunjukan tren peningkatan pada tiga tahun pertama, kemudian turun dalam dua tahun terakhir.
 

Pada 2015, skor inclusiveness Indonesia sebesar 38,68 kemudian naik menjadi 40,81 pada 2016 dan 42,03 pada 2017. Skor kemudian turun menjadi 40,77 pada 2018, dan kembali turun pada 2019 menjadi 39,96. 

Skor pada 2019 tersebut menempatkan Indonesia pada peringkat 99 dari 149 negara.
 

Periode 2018-2019 memang merupakan periode yang banyak diisi oleh agenda politik, utamanya menjelang Pemilu 2019. Tidak jarang, sejumlah agenda politik tersebut bersinggungan dengan pemanfaatan isu identitas termasuk ras, agama, dan kelompok minoritas untuk kepentingan politik.


Dalam lima tahun terakhir, tindak intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas memang seolah mendapatkan traksi pada pagelaran
politik. Salah satu contoh yang paling kentara boleh jadi tampak pada kasus penistaan agama yang melibatkan calon gubernur DKI Jakarta Basuk Tjahaja Purnama atau Ahok di 2016.
 

Lebih lanjut, fenomena peningkatan tindak intoleransi dan diskriminasi
ini memiliki dampak tidak langsung terhadap situasi demokratisasi di Indonesia. Laporan indeks demokrasi oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) menunjukkan, situasi demokratisasi Indonesia sedikit 'terganggu' dalam lima tahun terakhir. Catatan singkat, EIU menyusun indeks tersebut melalui lima variabel penilaian dengan rentang skor 0-10 terhadap 165 negara.
 

Berdasarkan laporan EIU, indeks demokrasi Indonesia tercatat mengalami tren menurun sejak 2016, meskipun mengalami kenaikan pada 2019. Indeks demokrasi Indonesia turun menjadi 6,97 dari tahun sebelumnya 7,03. Skor tersebut kembali turun menjadi 6,39 pada 2017 dan stagnan pada tahun berikutnya. Kenaikan skor terjadi pada 2019 menjadi 6,48.
 

Meskipun Pemilu serentak 2019 telah usai, kasus terkait intoleransi dan diskriminasi yang bersinggungan dengan identitas belum menunjukkan tanda-tanda akan melandai. Terlebih, hingga tulisan ini dimuat, Pemilihan Kepala Daerah (Pikada) serentak di beberapa daerah masih direncanakan akan tetap diselenggarakan di 2020 di tengah situasi pandemi. A Flourish chart.
 

Sumber: https://tirto.id/menilik-situasi-kasus-diskriminasi-terhadap-minoritas-di-indonesia-fXpD



4. Aktivitas Belajar 3

a. Kalian akan dibagi ke dalam 4 kelompok yang terdiri dari 7-10 orang.

b. Tunjuklah salah satu anggota menjadi ketua kelompok.

c. Berkumpullah dengan teman-teman satu kelompokmu untuk mendiskusikan
pertanyaan yang akan diajukan kepada kelompok minoritas (agama, etnis, suku, dan lain-lain).

d. Dengarkanlah penjelasan dari guru kalian tentang aturan-aturan yang harus dipatuhi selama kunjungan ke kelompok minoritas, seperti:
1) Saat sesi dialog dan diskusi dengan kelompok minoritas (agama, etnis, suku,dan lain-lain), kalian tidak diperkenankan mengajukan pertanyaan yang merendahkan kelompok minoritas (agama, etnis, suku, dan lain-lain).
2) Kalian wajib menjaga sikap dan tata krama selama kunjungan.
3) Kalian wajib mengikuti aturan yang berlaku di tempat kunjungan.

e. Bawalah alat perekam dan kamera atau kertas dan bolpoin untuk mencatat dan mendokumentasikan hasil diskusi saat kunjungan ke kelompok minoritas (agama, etnis, suku, dan lain-lain).

f. Sampaikanlah beberapa bertanyaan yang telah disusun kepada kelompok minoritas (agama, etnis, suku, dan lain-lain) pada saat mengunjungi mereka.

g. Rekam dan ambillah foto/gambar atau catatlah hal-hal penting untuk mendokumentasikan diskusi pada saat kunjungan ke kelompok minoritas (agama, etnis, suku, dan lain-lain).

h. Setelah kegiatan kunjungan selesai, buatlah laporan sederhana mengenai kegiatan tersebut dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Laporan kegiatan kunjungan ke kelompok minoritas dapat diketik komputer atau ditulis tangan sebanyak 5-10 halaman. Jika diketik komputer menggunakan 1,5 spasi, jenis huruf Times New Roman dengan ukuran 12pt, dan margin 4-4-3-3.
2) Sistematika laporan terdiri dari: (1) Judul kegiatan, (2) waktu dan tempat kegiatan, (3) uraian kegiatan, (4) pengalaman dan pembelajaran yang didapat dari kegiatan, (5) evaluasi kegiatan yang berisi tentang hal-hal apa saja yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan dari kegiatan tersebut, (6) dokumentasi (jika ada), dan (7) penutup (Lembar kerja 3).

i. Kalian memiliki waktu seminggu untuk menyusun dan menyelesaikan laporan.

j. Setelah itu, masing-masing kelompok mempresentasikan dan mendiskusikan laporan hasil kunjungan ke kelompok minoritas di depan kelas.


 

 


6. Refleksi

Setelah mengikuti pembelajaran hari ini, silahkan kalian melakukan refleksi. Untuk membantu merefleksikan aktivitas yang dilakukan, jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:
a. Dari proses belajar hari ini, hal yang saya pahami adalah
b. Dari proses belajar hari ini, hal yang belum saya pahami adalah/saya ingin mengetahui lebih dalam tentang
c. Dari proses belajar hari ini, hal yang akan saya lakukan dalam kehidupan sehari-hari

7. Rangkuman

a. Dengan mempelajari latar belakang demografis anggota BPUPK, kita bisa menyimpulkan bahwa Indonesia adalah negara yang mencerminkan semangat kolaborasi. Anggota BPUPK yang berasal dari agama dan suku yang berbeda, bersepakat untuk membentuk identitas nasional yang tidak merefleksikan semangat kelompok, tetapi juga sekaligus memayungi kebutuhan semua kelompok.
b. Tindakan diskriminatif terhadap sesama anak bangsa yang berbeda suku, bahasa, golongan, dan agama, hakikatnya menyakiti diri kita sendiri.


8. Uji Pemahaman

Untuk mengetahui sejauh mana pemahaman kalian tentang unit ini, jawablah pertanyaan berikut:
a. Apa kesepakatan tentang dasar negara yang dihasilkan dari anggota BPUPK yang memiliki keragaman latar belakang agama dan budaya?
b. Berikan analisismu atas konflik bernuansa suku dan agama yang pernah terjadi di Indonesia?
c. Apa manfaat yang dapat diambil dari kunjungan ke kelompok minoritas?
d. Setelah kalian berkunjung ke kelompok minoritas, bagaimana persepsi kalian terhadap mereka?