SKI Kelas XII BAB II - Peran Walisanga Dalam Penyebaran Islam di Indonesia

 


BAB II - Peran Walisanga Dalam Penyebaran Islam di Indonesia

Kata ‘wali’ dalam Bahasa Arab artinya pembela, teman dekat dan pemimpin; dalam pemakaiannya wali diartikan sebagai orang yang dekat dengan Allah Swt (Waliyullah).


Sanga dalam bahasa Jawa artinya Sembilan. Jadi Walisanga berarti Sembilan wali yang merupakan pelopor dan pejuang pengembangan agama Islam (islamisasi) di Pulau Jawa pada abad ke 15. 


Sembilan wali tersebut antara lain: Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik), Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati

A. Biografi Walisanga
Bagi masyarakat muslim Indonesia sebutan Walisanga memberikan makna khusus terhadap keberadaan tokoh-tokoh yang berperan penting dalam pengembangan Islam pada abad ke -15 hingga 16 Masehi di pulau Jawa. 

Kehadiran Walisanga dengan ajaran-ajarannya memiliki pengaruh yang kuat dalam masyarakat Islam di Jawa. 

Masyarakat Jawa memanggil Sunan kepada para Walisanga. Kata Sunan atau Susuhunan berasal dari kata suhun-kasuhun-sinuhun berarti yang dijunjung tinggi/dijunjung di atas kepala juga bermakna paduka yang mulia. 

Gelar atau sebutan Sunan digunakan oleh para raja Mataram Islam sampai kerajaan Surakarta dewasa ini. 

Bagi sebagian besar masyarakat Jawa, Walisanga dianggap memiliki nilai kekeramatan dan kemampuan-kemampuan di luar kelaziman. 

Walisanga merupakan sembilan ulama yang merupakan pelopor dan pejuang penyiaran Islam di Jawa pada abad XV dan XVI. 


Masih terdapat perbedaan pendapat tentang nama-nama Walisanga.

Namun yang lazim disebut sebagai Walisanga adalah sebagai berikut:

 


 

Walisanga diterima dengan baik oleh masyarakat, karena kedatangan para wali di tengah-tengah masyarakat Jawa tidak dipandang sebagai sebuah ancaman. 

Para wali menggunakan unsur-unsur budaya lama (Hindu dan Buddha) sebagai media dakwah. Dengan sabar sedikit demi sedikit Walisanga memasukkan nilai-nilai ajaran Islam ke dalam unsur-unsur lama yang sudah berkembang. 

Perjuangan Walisanga dalam dakwah nyaris tanpa konflik, karena Walisanga sangat halus dalam mengajar masyarakat dan semua dilakukan dengan jalan damai. 

 

1. Syaikh Maulana Malik Ibrahim (w. 882 H/ 1419 M)
Ada perbedaan pendapat terkait asal usul Syaikh Maulana Malik Ibrahim, ada pendapat berasal dari Turki dan ada pendapat lain menyatakan berasal dari Kashan sebuah tempat di Persia (Iran) sebagaimana tercatat pada prasasti makamnya. 

Syaikh Maulana Malik Ibrahim adalah seorang ahli tata negara yang menjadi penasehat raja, guru para pangeran dan juga dermawan terhadap fakir miskin. 

Menurut Babad ing Gresik beliau datang bersama kawan-kawan dekatnya dan berlabuh di Gresik pada tahun 1293/1371 M.


Syaikh Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan Ali Zainal Abidin cicit Nabi Muhammad Saw.


Syaikh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik bermukim di Gresik untuk menyiarkan ajaran Islam hingga akhir hayatnya pada tanggal 12 Rabiul awwal 822 H, bertepatan dengan 8 April 1419 M dan di makamkan di desa Gapura kota Gresik. 

  



Makamnya banyak diziarahi masyarakat hingga sekarang. Sunan Gresik dianggap sebagai penyiar Islam pertama di tanah Jawa, sehingga dianggap sebagai Ayah dari Walisanga.


2. Sunan Ampel atau Raden Rahmat (w. 1406 M)
Raden Rahmat adalah putra cucu Raja Champa, ayahnya bernama Ibrahim As-Samarkandi yang menikah dengan Puteri Raja Champa yang
bernama Dewi Candra Wulan. 

Raden Rahmat ke tanah Jawa langsung ke Majapahit, karena bibinya Dewi Dwara Wati diperistri Raja Brawijaya, dan istri yang paling disukainya. 

Raden Rahmat berhenti di Tuban dan ditempat itu beliau berkenalan dengan dua tokoh masyarakat yaitu Ki Wiryo Sarojo dan Ki Bang Kuning, yang kemudian masuk Islam keduanya beserta keluarganya. 

Dengan masuk Islamnya Ki Wiryo Sarojo dan Ki Bang Kuning,usaha Sunan Ampel semakin mudah dalam mendekati masyarakat dan melakukan dakwah Islam, sedikit demi sedikit mengajarkan Ketauhidan dan Ibadah. 

  



Sunan Ampel wafat pada tahun 1406M. Beliau dimakamkan di Kompleks Masjid Ampel, Surabaya. Sampai sekarang makam beliau banyak dikunjungi peziarah dari berbagai derah diseluruh pelosok Indonesia.


3. Sunan Bonang atau Makhdum Ibrahim (w.1525 M)
Raden Maulana Makhdum Ibrahim adalah putra Sunan Ampel dari istri
yang bernama Dewi Candrawati. Sunan 

Bonang dikenal sebagai ahli Ilmu Kalam dan Ilmu Tauhid. Maulana Makhdum Ibrahim banyak belajar di Pasai, kemudian sekembalinya dari Pasai, Maulana Makhdum Ibrahim mendirikan pesantren di daerah Tuban. 

Santri yang belajar pada pesantren Maulana Makhdum Ibrahim, berasal dari penjuru daerah di tanah air.


Dalam menjalankan kegiatan dakwahnya Maulana Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) mempunyai keunikan dengan cara mengubah nama-nama dewa dengan nama-nama malaikat sebagaimana yang dikenal dalam Islam. 

Hal ini dimaksudkan sebagai upaya persuasif terhadap penganut ajaran Hindu dan Budha yang telah lama dipeluk sebelumnya. 

  



Sunan Bonang meninggal pada tahun 1525 dan dimakamkan di Tuban, daerah pesisir utara Jawa yang menjadi basis perjuangan dakwahnya.


4. Sunan Kalijaga atau Raden Syahid (w. abad 15)
Sunan Kalijaga mempunyai nama kecil Raden Sahid, beliau juga dijuluki Syekh Malaya. 

Ayahnya bernama Raden Sahur Tumenggung Wilwatikta keturunan Ranggalawe yang sudah Islam dan menjadi bupati Tuban, sedangkan ibunya bernama Dewi Nawangrum. 

Sunan Kalijaga merupakan salah satu wali yang asli orang Jawa. Sebutan Kalijaga menurut sebagian riwayat berasal dari rangkaian bahasa Arab qadi zaka yang artinya ‘pelaksana’ dan ‘membersihkan’. 

Menurut pendapat masyarakat Jawa memberikan arti kata qadizaka dengan Kalijaga, yang berarti pemimpin atau pelaksana yang menegakkan kesucian atau kebersihan. 

  



Sunan Kalijaga meninggal pada pertengahan abad XV dan makamnya ada di desa Kadilangu, Kabupaten Demak, Jawa Tengah.


5. Sunan Giri atau Raden ‘Ainul Yaqin (w. Abad 15)
Raden ‘Ainul Yaqin (Raden Paku) adalah putra dari Syekh Maulana Ishaq (murid Sunan Ampel). Raden ‘Ainul Yaqin dan dikenal dengan sebutan Sunan Giri. 

Sunan Giri merupakan saudara ipar dari Raden Fatah, di karenakan istri mereka bersaudara. 

Raden ‘Ainul Yaqin kecil di bawah asuhan seorang wanita kaya raya yang bernama Nyai Gede Maloka atau Nyai Ageng Tandes.


Setelah menginjak dewasa, Raden ‘Ainul Yaqin menimba ilmu di Pesantren Ampel Denta (Surabaya) milik Sunan Ampel. Di sini ia bertemu dan berteman baik dengan putra Sunan Ampel yang bernama Maulana Makdum Ibrahim.

Ketika hendak melaksanakan ibadah haji bersama Sunan Bonang, keduanya menyempatkan singgah di Pasai untuk memperdalam ilmu keimanan dan tasawuf. 

Pada sebuah kisah diceritakan bahwa Raden Paku bisa mencapai tingkatan ilmu laduni. Dengan prestasi yang dicapainya inilah, Raden Paku juga terkenal dengan panggilan Raden ‘Ainul Yaqin. 

 



Sunan Giri meninggal sekitar awal abad ke-16, makam beliau ada di Bukit Giri, Gresik.


6. Sunan Drajad atau Raden Qasim (w. 1522 M)
Sunan Drajad memiliki nama asli Raden Qasim. Disebut Sunan Drajad karena beliau berdakwah di daerah Drajad kecamatan Paciran Lamongan.


Masyarakat juga menyebutnya sebagai Sunan Sedayu, Raden Syarifudin,
Maulana Hasyim, Sunan Mayang Madu. 

Raden Qasim adalah putra Sunan Ampel dari istri kedua yang bernama Dewi Candrawati. Raden Qasim mempunyai enam saudara seayah-seibu, diantaranya Siti Syareat (istri R. Usman Haji), Siti Mutma’innah (istri R. Muhsin), Siti Sofiah (istri R. Ahmad, Sunan Malaka) dan Raden Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang). 

  



Di samping itu, ia mempunyai dua orang saudara seayah lain ibu, yaitu Dewi Murtasiyah (istri R. Fatah) dan Dewi Murtasimah (istri Sunan Giri). Sedangkan istri Sunan Drajad, yaitu Dewi Shofiyah putri Sunan Gunung Jati.
 

7. Sunan Kudus atau Raden Ja’far Shadiq (w.1550 M)
Sunan Kudus biasa juga dikenal Ja’far Sadiq atau Raden Undung, beliau juga dijuluki Raden Amir Haji sebab ia pernah bertindak sebagai pimpinan Jama’ah Haji (Amir). 

Dikenal sebagai seorang pujangga cerdas yang luas dan mendalam keilmuannya.
Ja’far Sadiq (Sunan Kudus) merupakan putra Raden Usman Haji yang menyebarkan agama Islam di daerah Jipang Panolan, Blora, Jawa Tengah.
 

Dalam silsilah, Sunan Kudus masih keturunan Nabi Muhammad Saw.
 

Tercatat detail dalam silsilah: Ja’far Sadiq bin R. Usman Haji bin Raja Pendeta bin Ibrahim as-Samarkandi bin Maulana Muhammad Jumadal Kubra bin Zaini al-Husein bin Zaini al-Kubra bin Zainul Alim bin Zainul Abidin bin Sayid Husein bin Ali Ra.


Sunan Kudus juga dikenal dengan julukan wali al-ilmi, karena sangat menguasai ilmu-ilmu agama, terutama tafsir, fikih, usul fikih, tauhid, hadits, serta logika. 

Sunan Kudus juga dipercaya sebagai panglima perang Kesultanan Demak. 

Ia mendapat kepercayaan untuk mengendalikan pemerintahan di daerah Kudus, sehingga ia menjadi pemimpin pemerintahan (Bupati) sekaligus pemimpin agama. 

  



Sunan Kudus meninggal di Kudus pada tahun 1550, makamnya berada di dalam kompleks Masjid Menara Kudus.
 

8. Sunan Muria atau Raden Umar Said (w. abad 15)
Sunan Muria adalah putera Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya adalah Raden Umar Said, semasa kecil ia biasa dipanggil Raden Prawoto. 

Dikenal sebagai Sunan Muria karena pusat dakwah dan bermukim beliau di Bukit Muria. 

Dalam dakwah, beliau seperti ayahnya. Ibarat mengambil ikan “tidak sampai keruh airnya”. 

 



Dalam sejarah tidak diketahui secara persis tahun meninggalnya dan menurut perkiraan, Sunan Muria meninggal pada abad ke-16 dan dimakamkan di Bukit Muria, Kudus.
 

9. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah (w. 1570 M)
Dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati, nama asli beliau adalah Syarif Hidayatullah. Beliau adalah salah seorang dari Walisanga yang banyak memberikan kontribusi dalam menyebarkan agama Islam di pulau Jawa, khususnya di daerah Jawa Barat. 

Syarif Hidayatullah dikenal sebagai pendiri Kesultanan Cirebon dan Banten.
Dalam bukunya Sadjarah Banten, Hoesein Djajadiningrat menyatakan kedua nama yaitu Fatahillah dan Nurullah merupakan nama satu orang.
 

Nama aslinya adalah Nurullah, kemudian dikenal juga dengan nama Syekh Ibnu Maulana. 

Nurullah yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati berasal dari Pasai. 

Penguasaan Portugis atas Malaka pada 1511 dan akhirnya Pasai pada tahun 1521 membuat Nurullah tidak tinggal lama di Pasai. Beliau segera berangkat ke Mekah untuk melaksanakan ibadah haji.
 

Setelah kembali dari Tanah Suci pada tahun 1524, lalu langsung menuju
Demak dan beristri adik Sultan Trenggana.
 

Atas dukungan dari Sultan Trenggana, beliau berangkatlah ke Banten untuk mendirikan sebuah pemukiman muslim. Kemudian dari Banten, Nurullah melebarkan pengaruhnya ke daerah Sunda Kelapa. 

Di sini, pada tahun 1526 dia berhasil mengusir bangsa Portugis yang hendak mengadakan kerja sama dengan Raja Padjajaran. 

Berkat kemenangannya ini, Nurullah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. 

Di Banten, beliau meninggalkan putranya yang bernama Hasanuddin untuk memimpin Banten.


Sunan Gunung Jati wafat di Cirebon pada tahun 1570 dan usianya diperkiran sekitar 80 tahun. 


 

Makamnya terdapat di kompleks pemakaman Wukir Sapta Pangga di Gunung Jati, Desa Astana Cirebon, Jawa Barat.


B. Strategi Dakwah Walisanga
 

1. Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim pada awal dakwahnya menggunakan pendekatan
kekeluargaan dengan menawarkan putrinya untuk diperistri Raja Majapahit.


Upaya ini rupanya tidak berhasil, karena belum sampai tujuan, rombongan terkena serangan penyakit hingga banyak yang meninggal. Namun demikian tantangan ini rupanya tidak menyurutkan tekad Maulana Malik Ibrahim untuk berdakwah untuk mengislamkan kerajaan Majapahit.


Pada langkah berikutnya Maulana Malik Ibrahim mengambil jalur pendidikan dengan mendirikan pesantren. Dinamakan pesantren karena
merupakan tempat belajar para santri. 

Upaya pendidikan di pesantren oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim dimaksudkan untuk menampung dan menjawab permasalahan-permasalahan sosial keagamaan serta menghimpun santri. 

Karenakomitmen dan konsistensinya dalam mendakwahkan Islam, Maulana Malik Ibrahim dipandang sebagai “Bapak (Ayah) Spiritual Walisanga”.
 

2. Sunan Ampel (Raden Rahmatullah)
Dalam tahap awal misi dakwahnya, Sunan Ampel membangun pesantren
di Ampel Denta, dekat Surabaya. Pada pesantren yang diasuhnya Sunan Ampel mendidik kader-kader da'i yang kemudian disebar ke seluruh Jawa. 

Sunan Ampel telah mendidik murid-murid yang terkenal antara lain Sunan Bonang dan Sunan Drajat yang tak lain keduanya adalah putra Sunan Ampel sendiri, Maulana Ishak, Sunan Giri, dan Raden Patah (Sultan Demak).


Sunan Ampel dikenal sebagai negarawan, tokoh yang mempunyai gagasan dan perencana berdirinya kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. 

Menurut bukti sejarah Sunan Ampel sebagai orang yang mengukuhkan Raden Fatah sebagai sultan pertama Kesultanan Demak Bintoro. 

Pada akhirnya kesultanan Demak Bintoro menjadi pusat penyebaran Islam ke seluruh wilayah Indonesia.


Kesultanan Demak Bintoro menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan kemasyarakatan. Masjid Masjid Demak didirikan pada tahun 1478 yang diprakarsai oleh Sunan Ampel bersama dengan para Walisanga.
 

3. Sunan Bonang (Raden Maulana Makhdum Ibrahim)
Sunan Bonang sangat memperhatikan tradisi dan budaya masyarakat yang telah berkembang. Saat itu masyarakat Jawa memiliki kegemaran terhadap seni pewayangan yang ceritanya diambil dari ajaran Hindu dan Budha. 

Para wali berusaha keras untuk mewarnai dan menggubah ajaran masyarakat pada saat itu dengan menciptakan tembang atau syair yang berisi ajaran tauhid dan peribadatan. 

Setiap bait selalu diselingi dengan syahadatain (dua kalimat syahadat), sehingga kita sekarang mengenal gamelan sekaten, yaitu pengucapan masyarakat Jawa terhadap syahadatain. 

Salah satu tembang ciptaan Sunan Bonang adalah tembang durma, sejenis macapat yang menggambarkan suasana tegang, bengis, dan penuh amarah dalam kehidupan dunia yang fana.


Karya yang berupa catatan-catatan pengajaran Sunan Bonang dikenal dengan Suluk Sunan Bonang atau Primbon Sunan Bonang. 

Suluk atau primbon hasil karya Sunan Bonang berbentuk prosa dalam gaya Jawa, namun penggunaan kalimat-kalimatnya banyak sekali dipengaruhi bahasa Arab.


Diantara karya lainnya, adalah Sekar Damarwulan, Primbon Bonang I dan II,dan Serat Wragul.
 

4. Sunan Kalijaga (Raden Mas Syahid)
Sunan Kalijaga dikenal sebagai seorang wali yang berjiwa besar, berpandangan luas, berpikiran tajam, intelek, cerdas, kreatif, ivovatif dan dinamis, serta berasal dari suku Jawa asli. 

Dalam menyebarkan dakwahnya, Sunan Kalijaga tidak menetap di suatu daerah. 

Raden Mas Syahid senantiasa berkeliling dari satu daerah ke daerah lain, sehingga wilayah dakwah Sunan Kalijaga sangat luas. 

Raden Mas Syahid dianggap mampu menerapkan sistem dakwah yang cerdas dan aktual, banyak orang dari golongan bangsawan dan cendekiawan memberikan hormat dan simpati terhadapnya, mudah diterima oleh semua kalangan masyarakat, mulai rakyat bawah hingga kalangan atas bahkan para penguasa.


Sunan Kalijaga sebagai orang yang paling berjasa menggunakan pendekatan kultural dalam berdakwah, termasuk di antaranya wayang dan gamelan sebagai media dakwah. 

Sunan Kalijaga mengarang berbagai cerita wayang yang Islami, khususnya yang bertemakan akhlak atau budi pekerti. 

Hobi masyarakat Jawa terhadap wayang dapat dimanfaatkan Sunan Kalijaga sebagai media menyebarkan dakwah Islam.
 

Dalam bidang budaya Sunan Kalijaga membolehkan pembakaran kemenyan (untuk mengharumkan ruangan). Semula pembakaran kemenyan menjadi sarana dalam upacara penyembahan para dewa tetapi oleh Sunan Kalijaga fungsinya diubah sebagai pengharum ruangan ketika seorang muslim berdoa. 

Dengan suasana ruangan yang harum itu, diharapkan do'a dapat dilaksanakan dengan lebih khusyuk.
 

Sunan Kalijaga juga terkenal sebagai seniman, ahli dalam seni suara, seni ukir, kesusastraan seni busana, dan seni pahat. 

Salah satu hasil karya Sunan Kalijaga adalah dalam seni batik, corak batik yang diberi motif burung merupakan buah karya Sunan Kalijaga. Burung dalam bahasa Kawi disebut kukila. 

Kata tersebut ditulis dalam bahasa Arab menjadi qu Artinya jagalah dan qila artinya diucapkan dan bila digabungkan maka maksudnya adalah “peliharalah upacanmu sebaik-baiknya”, yang menjadi salah satu ajaran etnik Sunan Kalijaga melalui corak batik.


Kombinasi ilmu agama yang mumpuni dan jiwa seni yang tinggi membuatnya menjadi tokoh teladan yang meninggalkan banyak warisan budaya bernuansa Islam hingga kini. Bila Anda ingat lagu Ilir-ilir dan  Gundul-gundul pacul,  itu adalah sebagian karya beliau.


Dan filosofi Sunan Kalijaga yang paling dikenal masyarakat jawa adalah Dasa Pitutur, 10 filosofi kehidupan agar manusia bisa selamat dunia dan akhirat. Dasa Pititur disebut juga 10 filosofi Jawa ajaran Sunan Kalijaga.
 

5. Sunan Giri (Raden ‘Ainul Yaqin)
Sunan Giri mendirikan pesantren di daerah Giri sebagai basis dalam menyebarkan dakwah Islam. Dan mayoritas santrinya yang diasuh berasal dari masyarakat golongan ekonomi tidak mampu. 

Dari pesantren milik Sunan Giri ini lahir da'i-da'i yang kemudian mereka menyiarkan agama Islam ke luar Pulau Jawa, seperti Madura, Ternate, Bawean, Kangean, dan Tidore.


Sunan Giri terkenal sebagai seorang pendidik yang mampu menerapkan
metode permainan yang bersifat agamis. Karya- karyanya berupa permainan atau tembang anak-anak di antaranya Gula Ganti, Jamuran, Jelungan, Jor, dan Cublak-cublak Suweng
 

6. Sunan Drajad (Raden Qasim)
Raden Qasim (Sunan Drajat) melaksanakan dakwah dengan membuat pusat belajar agama Islam di Lawang dan Sedayu pedukuhan Drajad masuk wilayah kabupaten Lamongan sekarang. 

Dalam bidang kesenian beliau menggubah tembang Jawa macapat pangkur dan juga memainkan wayang sebagai dalang. 

Gamelan Singo Mangkok yang masih tersimpan di museum makam Sunan Drajad sebagai bukti bahwa beliau berdakwah lewat kesenian.


Selain kesenian Sunan Drajad dikenal sangat dermawan dan berjiwa sosial tinggi, beliau membuat pepali pitu (tujuh ajaran) yang menjadi pijakan kehidupan bermasyarakat. 

Pertama, memangun resep tyasing sasama (kita selalu membuat senang hati orang lain). 

Kedua, jroning suko kudu eling lan waspodo (dalam suasana gembira hendaknya tetap ingat Tuhan dan dan selalu waspada).

Ketiga, laksitaning Subrata tan nyipta marang pringga bayaning lampah.
(dalam upaya mencapai cita-cita luhur jangan menghiraukan rintangan).

Keempat, meper hardening pancadriya (senantiasa berjuang menekan gejolak nafsu inderawi). 

Kelima, heneng-hening-henung (dalam diam akan dicapai keheningan dalam hening akan mencapai jalan kemuliaan). 

Keenam, Mulya guna panca waktu (kemuliaan lahir batin dicapai dengan menjalani salat lima waktu). 

Ketujuh, wenehono teken mawang wong kang wuto (berikan tongkat pada orang yang buta), wenehono mangan marang wong kang luwe (berikan makan pada orang yang lapar), wenehono busana marang wong kang wuda (berikan pakaian pada orang yang tidak mempunyai pakaian), wenehono ngiyup marang wong kang kudanan (berikan tempat berteduh bagi orang yang kehujanan).
 

7. Sunan Kudus (Raden Ja’far Shadiq)
Sunan Kudus menjadi salah satu dari para wali yang merasakan pengalaman belajar di Baitul Maqdis, Palestina. Pada saat berada di Baitul Maqdis, ia berjasa memberantas penyakit yang banyak menelan korban. 

Berkat jasanya, Sunan Kudus diberi ijazah wilayah (daerah kekuasaan) di Palestina.


Setelah pulang ke Jawa, ia mendirikan sebuah masjid di daerah Loran pada tahun 1549. Masjid inilah yang sampai sekarang terkenal dengan nama Masjid Al-Aqsa atau Al-Manar. 

Kemudian Sunan Kudus mengganti nama daerah sekitar masjid menjadi Kudus, yang diambil dari nama sebuah kota di Palestina, yaitu Al-Quds.
 

Sunan Kudus dalam melaksanakan dakwah menggunakan pendekatan budaya, beliau juga memainkan peran sebagai sosok pujangga yang menciptakan berbagai lagu dan cerita keagamaan. 

Karyanya yang paling terkenal adalah Gending Maskumambang dan Mijil. 

Sunan kudus merupakan sosok yang sangat menghargai kearifan lokal, beliau melarang penyembelihan lembu bagi masyarakat muslim di Kudus. 

Larangan ini adalah bentuk toleransi terhadap adat istiadat serta watak masyarakat setempat yang sebelumnya masih kuat dengan agama Hindunya. 

Dalam keyakinan Hindu, lembu termasuk binatang yang dikeramatkan dan suci.
 

8. Sunan Muria (Raden Umar Said)
Sunan Muria dalam berdakwah memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri, yaitu menjadikan desa-desa terpencil sebagai medan dakwah
Islamnya. 

Sunan Muria dikenal sebagai wali yang lebih gemar menyendiri, bertempat tinggal di desa terpencil, dan bergaul dengan rakyat kebanyakan.


Sunan Muria memberikan pengajaran kepada masyarakat di sekitar Gunung Muria dengan mengadakan kursus-kursus bagi para pedagang, nelayan, ataupun masyarakat kecil lainnya. 

Sunan Muria juga merupakan pendukung setia Kesultanan Demak dan ikut andil dalam pendirian Masjid Demak. 

Beliau memiliki karya tulis yang masih digemari hingga saat ini, yaitu tembang sinom dan kinanti.


9. Sunan Gunung Jati (Raden Syarif Hidayatullah)
Sunan Gunung Jati banyak menghabiskan sebagian waktunya untuk melakukan Jihad dalam rangka melawan dan mengusir Portugis dari bumi Indonesia. 

Hal ini dilakukan dengan menggabungkan kekuasaan Banten dan Demak sehingga memiliki kekuatan yang diperhitungkan, pada peperangan pertama, pasukan Islam mengalami kekalahan yang sangat fatal, namun
berikutnya ketika Portugis mendarat kembali di Sunda Kelapa, pasukan Islam berhasil menumpas perlawanan pasukan Portugis, sehingga Sunda Kelapa diubah menjadi Jayakarta.


Oleh sebagian para sejarawan, Sunan Gunungjati dikenal sebagai peletak konsep negara Islam modern ketika itu, dengan bukti berkembangnya Kesultanan Banten sebagai negara maju dan makmur mencapai puncaknya 1650 hingga 1680. 

Atas jasa-jasanya yang sangat besar terhadap bangsa, umat Islam di Jawa Barat memanggilnya dengan nama lengkap Syekh Maulana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.
 

C. Peran Walisanga Terhadap Peradaban Indonesia
Dakwah Islam pada masa awal lebih bertumpu pada usaha para saudagar secara perorangan, namun ketika mereka telah berhasil masuk ke pemangku kebijakan (kerajaan), dakwah Islam berkembang sangat pesat. Kemajuan dakwah Islam di Indonesia cukup besar, hal ini disebabkan para adipati atau raja mereka masuk Islam. 

Sehingga penyebaran Islam yang dilakukan oleh para pedagang pada masa berikutnya dilanjutkan oleh para penguasa dan para wali sebagai penasehat dalam pemerintahan. 

Hal ini turut memberi kontribusi yang sangat besar terhadap perkembangan agama Islam dan sekaligus kebudayaan di tanah Indonesia.
 

Dalam bidang pendidikan, seluruh ulama’ penyebar Islam di Indonesia dan juga para Walisanga menjadikan masjid atau pesantren sebagai pusat dakwahnya. Mereka mendidik dan mengajari masyarakat tentang agama Islam dan bidang lainnya. Keberadan pesantren atau masjid dalam dakwah menjadi dasar terbentuknya lembaga pendidikan di wilayah Indonesia.
 

Dalam bidang seni arsitektur, pembangunan masjid diutamakan sebagai rumah ibadah sekaligus pusat kegiatan umat. 

  



Banyak masjid yang didirikan oleh para wali yang mengembangkan gaya arsitektur yang indah dengan sentuhan etnik dan budaya lokal, contohnya, dalam pembangunan Masjid Agung Demak, Masjid Agung Kasepuhan Cirebon, Masjid Agung Banten, Menara Kudus, dan Masjid Agung Baiturrahman Aceh. 

Keindahan arsitektur maupun ornamennya merupakan khazanah kebudayaan yang harus dijaga kelestariannya. Lebih dari itu, sentuhan budaya setempat menjadikan kehadiran masjid dapat diterima oleh rakyat, tanpa terjadi penolakan atau gejolak sebagai akibat adanya transisi ke agama baru.


Dalam bidang seni dan budaya, para wali, ulama, dan mubalig mampu
membangun keharmonisan antara budaya atau tradisi lama dengan ajaran Islam. 

Kita mengenal di tanah Jawa kesenian wayang yang berdasar cerita Hindu Ramayana dan Mahabarata sebagai sarana dakwah para wali dan mubalig. Wayang merupakan peninggalan tradisi lama diolah dan diterjemah kembali oleh para wali dengan mengganti isinya dengan ajaran Islam. 

Untuk mengiringi pementasan wayang, kita kenal gamelan dan gending. Di samping seni yang memadukan dua unsur budaya, kita juga mengenal masuknya seni budaya Islam Timur Tengah ke Tanah Air seperti rebana dan qasidah.


Bidang kebudayaan, adat-istiadat yang berkembang di Indonesia banyak
terpengaruh oleh peradaban Islam. Di antaranya adalah ucapan salam kepada setiap kaum muslim yang dijumpai, atau penggunaannya dalam acara-acara resmi pemerintah. 

Misalnya presiden kita jika ingin berbicara baik di dalam forum resmi atau tidak, selalu menggunakan ucapan salam berupa kalimat "Assalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh" dan banyak lagi yang lainnya. Hal itu menandai adanya pengaruh adat-istiadat Islam dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. 

Pengaruh lainnya adalah berupa ucapan-ucapan kalimat penting dan doa, yang merupakan pengaruh dari tradisi Islam yang lestari. 

Misalnya, ucapan “bismillah” ketika akan melakukan sesuatu pekerjaan, juga bacaan “alhamdulillah” dalam setiap nikmat.


Demikian pula dalam bidang politik, ketika kerajaan-kerajaan Islam mengalami masa kejayaan, banyak sekali unsur politik Islam yang berpengaruh dalam sistem politik pemerintahan kerajaan-kerajaan Islam. 

Misalnya tentang konsep khalifatullah fil ardli dan dzillullah fi ardli. Kedua konsep ini diterapkan pada pemerintah kerajaan Islam Aceh Darussalam dan kerajaan Islam Mataram. 

Di samping itu pada tata kota wilayah Indonesia banyak mengadaptasi sistem tata kota Islam yang memadukan antara keraton sebagai tempat aktivitas pemerintahan, masjid sebagai tempat ibadah, pasar sebagai pusat ekonomi masyarakat dan alunalun sebagai tempat berkumpulnya masyarakat.


D. Teladan Spiritual dan Intelektual
Walisanga memberikan peranan yang sangat besar terhadap perkembangan dan penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di tanah Jawa. Mereka mempunyai kemampuan spiritual dan juga intelektual yang mumpuni, hal tersebut tercermin dari karya-karya mereka dalam menciptakan lagu, cerita wayang, dan simbol-simbol agama lain yang mengandung ajaran-ajaran Islam. 

Selain ahli dalam bidang keagamaan, kesenian maupun teknologi juga ahli tatanegara. Raden Patah menjadikan Sunan Kalijaga sebagai penasehat kerajaan, ia menjadi tempat bertanya bagi raja, terutama dalam masalah-masalah keagamaan maupun politik. 

Bahkan di antara mereka ada yang mendirikan kerajaan dan bahkan menjadi raja pertamanya, seperti Sunan Gunung Jati.
 

Dalam menjalankan dakwah di Jawa, para walisanga lebih mengedepankan kearifan lokal dalam menyikapi persoalan yang berkaitan dengan perbedaan antara ajaran Islam dengan tradisi setempat. 

Sebagai seorang sufi, para wali bersikap toleran dalam menjalankan dakwah. Bahkan tidak jarang, seni dan tradisi setempat dijadikan media dakwah untuk menarik masyarakat masuk Islam. 

Memahami dan menghayati biografi, sejarah, perjuangan, dan peranannya dalam mengembangkan Islam di Indonesia, maka dapat diambil hikmah dan pelajaran untuk dijadikan teladan.
1. Semangat yang sangat tinggi dalam mengembangkan ajaran Islam di Indonesia.
2. Sikap keikhlasan para wali yang mewarnai perjuangannya tanpa pamrih, bahkan berani berkorban demi umat.
3. Sikap keberanian para wali dalam melindungi dan mempertahankan wilayah Islam dari penjajahan asing.
4. Semangat spiritual para wali tidak pernah putus, hubungan dekat dengan Allah Swt. sangat menentukan keberhasilan dakwahnya.
5. Kemampuan para wali dalam melihat situasi umat, dan cepat menemukan solusi tepat untuk kemajuan dakwah Islam. Pemilihan metode dakwah yang tepat, kreatif, dan persuasif, yang membuahkan hasil maksimal.
6. Cara dakwah Sunan Muria dengan mencari daerah-daerah pedalaman dan desadesa terpencil sangat penting ditiru agar tidak didahului dakwah umat lain.
7. Sikap solidaritas dan kepedulian sosial para wali yang tinggi terhadap nasib rakyat untuk membantu dan menyantuninya.
8. Sikap para wali menjalin hubungan dengan penguasa dan para raja sangat membantu keberhasilan dakwah.
9. Adanya jadwal pembagian wilayah dakwah agar Islam tersebar merata ke seluruh wilayah Indonesia.


E. Hikmah
Setelah mempelajari materi tentang walisanga pelajaran yang dapat kita petik adalah :
1. Dalam berdakwah membutuhkan kesabaran dan keihlasan.
2. Memurnikan niat dalam berdakwah
3. Selalu berperilaku sesuai ajaran Islam karena sebagai uswah umat

F. Rangkuman
1. Walisanga adalah ulama penyabar Islam di pulau Jawa yang menyebarkan ajaran Islam dengan cara damai melalui akulturasi budaya tanpa merusak ajaran Islam yang murni.
2. Walisanga berjumlah sembilan orang yakni Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Giri, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati.
3. Dalam menyampaikan dakwahnya Walisanga mengedepankan pendekatan budaya yang sudah berkembang pada masyarakat Jawa, diakulturasikan dengan ajaran Agama Islam.
4. Walisanga yang menyebarkan Islam di Jawa Timur ada lima Wali yakni Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri.
5. Walisanga yang menyebarkan Islam di Jawa Tengah ada tiga Wali yakni Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria.
6. Sunan Gunung Jati adalah satu – satu nya ulama yang menyebarkan Islam di Jawa Barat.
7. Dalam mendakwahkan Islam Walisanga juga memiliki pembagian kerja yang disebut dengan pembagian kerja Dewan Walisanga

G. Uji Kompetensi
1. Jelaskan mengapa dalam menjalankan dakwahnya para Walisanga nyaris tidak pernah mengalami konflik dengan masyarakat setempat?
2. Bagaimanakah cara yang dilakukan oleh para Walisanga dalam mendakwahkan Islam di pulau Jawa?
3. Berikanlah contoh bentuk toleransi dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kudus kepada masyarakat yang beragama lain?
4. Mengapa Sunan kudus disebut sebagai Waliyul Ilmi ?
5. Sebutkan ajaran suluk petuah yang di ajarkan oleh Sunan Drajat?
6. Bagaimana cara berdakwah yang tepat pada era yang serba canggih ini, jika dikaitkan dengan keteladanan, cara dakwah yang dilakukan Walisanga?
7. Apa inti ajaran yang disampaikan oleh Sunan Bonang?
8. Bagaimanakah cara dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga?
9. Bagaimana peran Walisanga dalam membangun kerajaan Islam di tanah Jawa?
10. Menurut kalian, mengapa sistem pondok pesantren yang dikembangkan oleh Sunan Ampel dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa menjadi sistem yang masih berkembang dan relevan hingga sekarang?